Tantrum adalah ledakan emosi yang umum terjadi pada anak balita, terutama usia 1 hingga 5 tahun. Mereka bisa menangis keras, menjerit, berguling di lantai, atau bahkan memukul saat keinginannya tidak terpenuhi. Banyak orang tua merasa frustrasi, bingung, bahkan putus asa dalam menghadapi tantrum, dan sering kali membalasnya dengan amarah atau hukuman.
Padahal, tantrum bukan bentuk kenakalan, melainkan cara anak mengekspresikan perasaan yang belum bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata. Dalam artikel ini, kita akan membahas panduan lengkap dan terbukti efektif dalam mengatasi tantrum anak balita dengan empati, bukan dengan kekerasan atau bentakan.
Panduan Lengkap Mengatasi Tantrum Anak Balita dengan Empati
1. Apa Itu Tantrum dan Mengapa Terjadi?
Tantrum adalah respons emosional yang muncul ketika anak merasa frustrasi, lelah, lapar, atau terlalu terstimulasi. Anak balita masih dalam tahap perkembangan otak, khususnya bagian yang mengatur emosi dan logika. Oleh karena itu, mereka belum mampu mengontrol emosi seperti orang dewasa.
Beberapa penyebab umum tantrum:
Tidak bisa mengekspresikan keinginan secara verbal
Merasa tidak diperhatikan
Ingin mandiri, tetapi kemampuan terbatas
Kecewa karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan
Memahami penyebab ini membantu orang tua melihat tantrum sebagai reaksi wajar, bukan masalah perilaku.
2. Mengapa Pendekatan Empati Penting?
Empati adalah kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain. Dalam konteks pengasuhan, pendekatan empati berarti merespons emosi anak dengan pengertian dan kasih sayang, bukan amarah.
Manfaat utama pendekatan empatik saat tantrum:
Anak merasa dimengerti, sehingga lebih cepat tenang
Menumbuhkan rasa aman dan keterikatan dengan orang tua
Melatih anak mengenali dan mengelola emosinya sendiri
Menghindari trauma akibat reaksi keras dari orang tua
3. Langkah-Langkah Mengatasi Tantrum Anak dengan Empati
Berikut adalah langkah demi langkah yang bisa Anda praktikkan setiap kali anak mengalami tantrum:
a. Tetap Tenang dan Jangan Terpancing Emosi
Saat anak berteriak atau menangis keras, refleks orang tua sering kali ikut marah. Namun, ini justru memperburuk situasi. Langkah pertama adalah tenangkan diri sendiri terlebih dahulu.
Tips:
Tarik napas dalam beberapa kali
Ingat bahwa anak tidak sedang menyerang Anda, tapi sedang kewalahan
Jangan mengambil perilaku tantrum secara pribadi
b. Validasi Emosi Anak
Dekati anak dan ucapkan kalimat validasi seperti:
“Mama tahu kamu sedang marah karena mainannya rusak.”
“Kamu kecewa, ya, karena tidak bisa beli es krim?”
Dengan begitu, anak merasa didengar dan dimengerti. Ini penting agar mereka belajar mengenali dan menamai emosinya sendiri.
c. Gunakan Kontak Fisik Positif
Jika anak mengizinkan, peluk atau duduk di dekatnya. Kontak fisik seperti memegang tangan atau mengusap punggung bisa membantu menenangkan sistem saraf anak.
Namun, jika anak belum siap disentuh, beri ruang sambil tetap hadir secara emosional dan fisik.
d. Hindari Ceramah Saat Anak Masih Emosi
Jangan berikan nasihat, perintah, atau pertanyaan saat anak masih menangis atau berteriak. Otak anak dalam kondisi “fight or flight” dan tidak mampu memproses informasi secara logis.
Tunggu hingga anak tenang, baru ajak berdiskusi dengan bahasa sederhana:
“Tadi kamu marah banget, ya. Sekarang kamu udah siap cerita belum?”
“Apa yang bisa kita lakukan kalau itu terjadi lagi nanti?”
e. Ajarkan Teknik Mengelola Emosi
Setelah anak tenang, gunakan momen itu untuk mengajarkan strategi mengatur emosi, seperti:
Menarik napas panjang bersama
Menggambar atau mencoret-coret sebagai pelepasan emosi
Menyebutkan perasaan mereka: “Aku sedih”, “Aku kecewa”
Ini akan memperkuat kecerdasan emosional anak.
4. Mencegah Tantrum Sebelum Terjadi
Pendekatan empati bukan hanya untuk saat tantrum, tapi juga untuk mencegahnya terjadi.
a. Ciptakan Rutinitas yang Konsisten
Anak balita merasa aman jika tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Rutinitas makan, tidur, bermain, dan aktivitas harian yang konsisten dapat mengurangi risiko tantrum akibat kelelahan atau kebingungan.
b. Beri Pilihan, Bukan Perintah
Alih-alih mengatakan, “Ayo cepat makan sekarang!”, cobalah:
“Mau makan dulu atau cuci tangan dulu?”
Dengan memberikan pilihan terbatas, anak merasa punya kontrol dan tidak merasa dipaksa.
c. Perhatikan Kebutuhan Dasarnya
Tantrum sering kali terjadi karena:
Lapar
Mengantuk
Bosan
Terlalu banyak stimulasi (suara keras, tempat ramai)
Pastikan kebutuhan dasar anak terpenuhi sebelum melakukan aktivitas tertentu.
5. Kesalahan Umum yang Perlu Dihindari
Beberapa kesalahan orang tua saat menghadapi tantrum yang perlu dihindari:
Membentak atau menghukum secara fisik
➜ Ini justru membuat anak takut, bukan paham.Mengabaikan anak sepenuhnya
➜ Anak merasa sendirian dan tidak dipahami.Memberikan apa yang anak mau hanya untuk menghentikan tantrum
➜ Anak belajar bahwa menangis keras bisa menjadi alat untuk memanipulasi.Membandingkan dengan anak lain
➜ Merusak harga diri anak dan memperparah emosi negatif.
6. Kapan Harus Menghubungi Profesional?
Tantrum umumnya normal, namun ada beberapa tanda yang perlu diperhatikan:
Tantrum sangat sering (lebih dari 5 kali sehari)
Durasi tantrum sangat lama (lebih dari 20 menit)
Anak melukai diri sendiri atau orang lain saat tantrum
Anak tidak menunjukkan perkembangan dalam mengekspresikan emosi seiring waktu
Jika ini terjadi, sebaiknya berkonsultasi dengan psikolog anak untuk mendapatkan panduan lanjutan.
Hadapi Tantrum dengan Cinta dan Kesabaran
Tantrum bukan masalah yang harus “dilawan”, tapi situasi yang bisa dijadikan momen belajar bersama anak. Dengan pendekatan empati, komunikasi yang hangat, dan konsistensi, Anda bisa membantu anak memahami dan mengatur emosinya dengan lebih baik.
Ingatlah bahwa anak balita bukan versi mini orang dewasa. Mereka masih belajar, mereka masih bertumbuh. Dan tugas kita sebagai orang tua adalah mendampingi, bukan menghakimi.
Dengan pola asuh empatik, Anda tidak hanya mengatasi tantrum, tapi juga membangun fondasi hubungan yang sehat dan penuh kepercayaan dengan anak.





Leave a Comment